Friday , Mar 15 -2024   - Ustaz Hasan Basri , S.pd , MM - Kepsek SMAN 1 Simpang Mamplam

Bireuen  Dalam struktur organisasi di aceh sering kita mendengar istilah tuha peut terutama dalam tatanan pemerintah gampong yang merupakan pemerintah tertinggi di pandangan masyarakat. Mengapa demikian karena pemerintah gampong merupakan pemerintah yang langsung berhadapan dengan permasalahan masyarakat sedangkan untuk pemerintah kecamantan dan kelevel lebih tinggi hanya pemerintah perwakilan dari masyarakat. Masyarkat mewakilkan kesejahtraan kepada pemerintah daerah dan pusat sedangkan rakyat masih menanggung beban hidup. Ini sesuai amanah undang - undang yang intinya perwakilan bagi seluruh rakyat adalah pemerintah terutama dewan perwakilan rakyat. 

Dewan perwakilan rakyat ini hampir memiliki makna sama dengan tuha peut gampong di aceh. Baiklah kita kaji seputar makna tuha peut dan sejarahnya.


Defenisi Tuha Peut :


Tuha Peuet berasal dari perkataan Tuha dan Peuet. Tuha secara etimologis (asal kata) artinya tua atau yang dituakan, sedangkan Peuet artinya empat. Secara morfologis (maksud) yang dimaksud dengan Tuha Peuet adalah orang tua atau yang dituakan sebanyak empat orang. Istilah ini berbeda-beda penyebutannya di seluruh Aceh, misalkan di wilayah Gayo disebut dengan Sara Opat, namun fungsi dan peranannya sama.


Lembaga ini, tidak hanya ditemukan di Aceh saja, tapi juga di daerah-daerah lain di kepulauan Nusantara. Dewan empat ini pada masa lampau, para anggotanya, baik individu maupun bersama memiliki tanggungjawab mendampingi seorang Uleebalang (Hulubalang) selaku penguasa sebuah wilayah dalam melaksanakan tugasnya, sebagai perdana menteri sekaligus penasehat.


Darimana asal lembaga Tuha Peuet ini? Asal muasal dan sebab timbul lembaga ini belum diketahui dengan jelas, namun konsep Tuha Peuet ini sangat cocok dalam masyarakat Aceh, sesuai dengan sifat dan watak orang Aceh di masa lalu yang sangat suka bermusyawarah. Hal ini adalah pengaruh dari ajaran Islam sebagaimana difirmankan oleh Allah S.W.T : “Wal amru hum syuraa bainahum.” Yang berarti: “Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka.” Lembaga Tuha Peuet ini sangat penting untuk menyampaikan perasaan orang banyak, sebagai sebuah alat pemerintahan yang kadang-kadang menentukan jalan atau tidaknya suatu urusan dalam masyarakat.


Peranan Tuha Peut di Masyarakat Aceh


Lembaga Tuha Peuet ini sangat penting maka syarat utama menjadi anggotanya adalah integritas pribadi yang didasarkan kepada pengalamannya, yang biasanya disimbolkan dengan istilah ketuaanya (tuha), bukanlah semata-mata dalam artian usia tua semata-mata (Tuha puteh ok = Tua karena berambut putih), melainkan ketuaan dalam hal kebijaksanaan (Tuha Ilmee = Tua karena ilmu).


Bagaimana mengukur tua dalam kebijaksanaan? Itu semua terlukis dalam empat karakter utama:


Mengerti adat dan agama (Tuha-Tuho);

Matang dalam kepribadian dan mengerti batas-batas antara yang baik dan buruk dalam bertindak (Tuha-Turi Droe);

Mempunyai kecakapan untuk mendamaikan masalah atau menjadi juru damai (Tuha-Bako);

Mencintai agama dan negeri (Tuha-Gaseh keu agama ngon keu nanggroe).

Konsep kepribadian dan kepemimpinan ini adalah peninggalan masa lampau, terlihat statis, namun pengaruhnya terasa sampai sekarang dalam masyarakat Aceh sampai sekarang. Mungkin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, keuangan, politik dan pendidikan konsep kepribadian dan kepemimpinan ini sudah bergeser dinamis mengikuti perkembangan zaman.


Peranan Tuha Peut di Masa Kesultanan Aceh Darussalam


Pada masa lampau, menurut adat, Tuha Peuet mempunyai peranan yang amat penting dalam suatu kenegerian, bersama Uleebalang, lembaga ini merupakan sejenis dewan yang mempertimbangkan dan mengurus kepentingan-kepentingan dalam suatu kenegerian. Baik yang menyangkut pemerintahan, peradilan, kemiliteran, atau hal-hal vital, pimpinan perlu dibicarakan dengan dewan ini, sebelum mengambil keputusan. Oleh karena itu Uleebalang tidak bisa menjalankan keputusan yang bertentangan dengan pendapat Tuha Peuet, semua harus melalui musyawarah dan mufakat, bukan keinginan/kehendak pribadinya. Tuha Peuet dirancang oleh para leluhur di Aceh untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa. Ini tertulis pada Kanun Meukuta Alam konstitusi dari Kesultanan Aceh Darussalam.


Salah satu fungsi dewan Tuha Peuet yang paling penting adalah peradilan, dalam hal ini Uleebalang bertindak selaku hakim, sedangkan Tuha Peuet sebagai penasehat. Dalam hal mengambil keputusan hakim bagaimanapun tetap meminta pertimbangan penasehat-penasehatnya.


Selain itu, Tuha Peuet memiliki tugas lain, yaitu apabila seorang Uleebalang meninggal dunia atau karena satu sebab lain ia tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka tugas Tuha Peuet untuk bermusyawarah menunjuk pemimpin baru untuk menjalankan pemerintahannya.


Meskipun dewan ini mandiri, tapi dalam memberikan pendapat atau masukan mereka harus selalu mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat dan hal-hal yang timbul dalam masyarakat. Karena jika tidak, maka keputusan itu tidak memiliki arti sama sekali, apabila tidak mendapat dukungan masyarakat. Seorang Uleebalang jika berhasil membawa aspirasi masyarakat maka kecenderungan akan berhasil, karena kebijaksanaannya mendapat sokongan dari masyarakat.


Bagaimana peranan Tuha Peuet sekarang? Telah terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan fungsi dan kedudukan Tuha Peuet bergeser dari keadaan semula. Pada masa kolonial Belanda disebabkan kepentingan keuangan, Tuha Peuet ditunjuk untuk memungut pajak dari satu atau beberapa kampung, yang secara adat diterima oleh Uleebalang. Dalam hal ini, mereka memperoleh upah sedangkan hak dalam peradilan dan pemerintahan telah hilang sama sekali.


Akibat hak mengutip pajak tersebut, para Tuha Peuet akan tinggal dikampung dengan penghasilan terbesar saja, disatu pihak hubungan antara Uleebalang dan penduduk kampung menjadi renggang, sehingga masyarakat hanya mengenal Tuha Peuet sebagai kepala mereka. Tuha Peuet ini dikenal dan dianggap sebagai wakil Uleebalang dan sering disebut Uleebalang Cut (Hulubalang Kecil).


Dalam hal itu, bersamaan dengan proses perkembangannya “Dewan Penasehat” telah berubah menjadi “Penguasa Wilayah”, meskipun bentuk dewan Tuha Peuet masih ada , tapi fungsinya telah bergeser. Bahkan setelah Kolonial Belanda berhasil memantapkan kekuasaannya di Aceh tahun 1904, fungsi Tuha Peuet ini telah hilang sama sekali, terabaikan. Para Tuha Peuet zaman lama, zaman kesultanan, malah telah menjadi Uleebalang baru dengan wilayah yang lebih kecil.


Peranan Tuha Peut setelah kemerdekaan Republik Indonesia


Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Tuha Peuet merupakan pembantu Keuchik (Kepala Kampung) yang berfungsi sebagai dewan yang memberikan nasehat dan pertimbangan. Namun ketika pemerintah Soeharto mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Undang-Undang Pemerintahan Desa, Tuha Peuet sebagai kekhasan provinsi Aceh kembali lenyap akibat penyeragaman yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.


Pada tahun 2006, terbitlah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, Undang-Undang Pemerintahan Aceh  yang mengatur pemerintahan provinsi Aceh, Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Otonomi Khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan MoU Helsinki. Peranan Tuha Peuet adalah salah satu lembaga yang dicoba untuk dihidupkan kembali, sebagai cerminan jiwa dari masyarakat Aceh yang sangat suka bermusyawarah.


Apakah Lembaga Tuha Peuet dapat menghadapi tuntutan zaman yang dinamis? Kita belum tahu pasti, karena telah ada banyak rentetan sejarah yang terputus di masa lampau, tapi kita semua patut berharap agar kebijaksanaan masa lampau tersebut tidak serta merta sirna ditelan arus zaman. (*)

Post a Comment

Previous Post Next Post