( *** ) Tengku...teungku...tengku.... Bangunlah .... suara lebut itu memaksaku membuka mata. gadis itu berdiri tepat di depan wajah ku namun aku hanya bisa melihat matanya karena dia dengan gamis dan cadar sambil menyodorkan aku sebotol air mineral. " tengku ... minumlah,.." aku menggerakkan tanganku yang sudah mati rasa dan meraih botol air minum. perlahan ku angkat pelan tubuhku dan duduk bersandar dalam gerobak tua. yang biasa di gunakan Oleh para santriwati membawa pakaian untuk mencuci di sungai saat mereka pulang dari gotong - royong di sawah dan ladang. kalau untuk mencuci baju harian mereka cukup membawa ember saja. inilah kebiasan dan rutinitas santriwati di Dayah.
" tengku ,... tunggu sebentar ... nanti setelah azan dan santri sudan masuk semua ke mesjid , saya akan menjemput tengku. berusahalah untuk bangkit karena saya tidak bisa membantu tengku , kita bukan muhrem. selain itu tidak mungkin juga saya memberitahukan orang lain. karena seluruh kecamatan sudah beredar isu tengku berhasil kabur dari kejaran tentara. tengku tenang aja dulu , saya akan mencari tempat yang paling aman dulu buat tengku. 30 menit lagi saya akan kembali saat semua santri sudah shalat berjamah di mesjid. " demikian gadis shalehah itu mengakhiri kalam nya dan berlalu dari hadapanku.
Dari kejauhan aku menatap gadis itu menuju ke balkoni rumah menemui seseorang dan mereka berbicara dengan serius, dari kejauhan aku dapat merasakan ketulusan gadis itu menyakinkan orang tua dengan pakaian rapi dan kupiyah hitam di depannya. Pria separuh baya dengan aura yang sangat kuat, dari kejauhan aku tak sanggub menatap wajahnya sangking wibawanya. Aku pun melihat gadis itu tak mampu menatap wajah pria itu, gadis itu terus berbicara sambil merunduk dan akhirnya pria itu menganggung serta menyerakan sesuatu kepada gadis itu. Akhirnya pria itu pun berlalu menuju ke mesjid di dalam komplek pasantren itu.
Dari jarak 50 meter aku masih bisa melihat di balik tumpukan kain jemuran di pojok becak, gadis itu berjalan setengah berlari menghampiriku. Sementara suara iqaman di dalam mesjid di tengah konplek pasantren mengetarkan jiwaku, ingin rasanya aku bengkit bersatu menuju ketengah jmaah yang sedang mengharap ridha Allah namun bagaimana kalau semua orang memperhatikan ku dan kehadiranku membuat ketakutan seluruh manusia disini, karena aku menjadi malatapetaka dimana saja aku berada, bagaimana tidak setiap tempat yang pernah ku injak dan bekasnya di ketahui oleh Tentara maka akan di buni hanguskan. Rumah , gubuk, sekolah dan tempat-tempat yang pernah ku tinggalkan jejak telah rata di telan api.
Bahkan ibu , bapak dan keluarga dan sahabatku yang di ketahui memiliki akses kekerabatan denganku bila di temukan oleh tentara mereka akan duluan menghadap ilahi. Tapi tuhan maha pelindung hambanya. Allah telah menempatkan mereka di tempat terbaik yang tak bisa di jangkau oleh tentera dan para cuak. Sedang tentera dan cuak mengenalku hanya sebagai abu west yang merupakan kopral pemberontak dari pelarian anak sekolah di sebuah pasantren dan terjebak dalam komplik hingga menjadi GPK dan tidak mengenal asal usul ku. Bahkan muallim yang membaitku abu zainon pase tidak pernah bertanya siapa kamu dan siapa keluarga mu. Setelah si bai'at oleh beliau kemudian beliau berpesan kita satu keluarga dan selalulah jadi keluarga jangan pernah jadi musuh dan membantu musuh baik selama hidup maupun setelah mati. Kita berharap setelah mati bisa menjadi hantu dan berjuang kembali sampai negeri ini merdeka.
Tengku... tengku... ambil selimut ini dan selimutlah agar tidak ada yang curiga tgk ini seorang pria ... ! aku pun tersentak dari lamunan dan ku ambil selimut putih dan aku membalut diri dengan sangat rapi...
gadis itu berkata " tengku ... mari ikut di belakang saya. Ambillah kayu penyangga di samping becak untuk pegangang mu. Aku berjalan duluan dan ikuti aku , jangan pernah menjadi perhatian orang. " perlahan aku mengikuti gadis itu berjalan perlahan dangan tongkat di tangan dan selimut membalut seluruh tubuh ku. Hingga sampai ke sebuah bilik di lantai dua pasantren yang belum siat... hanya ada di ruangan di lantai dua. Satu ruang besar berbentuk kelas yang luasnya bisa menampung 50 siswa dengan kursi belajar . Satu lagi ruang kecil yang tertulis kantor di depan pinda dan sebagian lagi masih kosong penuh dengan bambu pekas pengecoran yang luasnya kira-kira bisa memuat satu aula besar tepat di atas rumah pimpinan pasantren.
"Tengku.. ini kunci nya masuklah dulu. Di dalam ada kamar mandi di tempat istirahat. Saya permisi dulu semoga kelak bisa bertemu lagi lagi berumur panjang" demikian sapa gadis itu mengakhiri percakapannya. Kemudian dia berlalu. Aku perlahan masuk kedalam kantor itu dan mencabut kunci serta langsung menuju kamar mandi membersihkan diri. Setalah berjibaku seharian penuh berjibaku dengan maut. Ini adalah perjudian hidup yang pernah ku alami. Menang dan kalah aku belum tau. Setidaknya malam ini aku masih bisa bertahan... ( ***)
( Next : Dibawah cahaya purnama )
Post a Comment