Amerika Serikat  - Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh untuk bernazar jika dalam menghadapi musibah atau kebaikan, sehingga hal tersebut disinggung oleh Jalaluddin At-Turasani, dalam kitab Safinat Al-Hukkam Fi Takhlish Al-Khasham, terutama tentang tata cara pelaksanaan nazar, dan kafarat jika melanggar nazar itu.


“Kaidah bermula memakan yang dinazarkan harus pada nazar yang mu’ayyan yakni yang sudah tertentu dan tiada harus memakan nazar yang dalam akuan juga ( Red ) Jalaluddin At-Tarusani, Safinat al-Hukkam fi Takhlish al-Kahssham, alih aksara oleh Prof. Dr. Al yasa Abubakar, dkk, Banda Aceh, Pusat Penerbitan dan Penerjemahan IAIN Ar-Raniry, tahun 2001, hal 170


Disini disebutkan tentang boleh memakan makanan nazar ( Peulheuh kaoy ) jika sudah jelas jenisnya dan ukurannya, jika tidak jelas jenis nazarnya maka tidak boleh dimakan ketika ditunaikan. Jika nazar yang diniatkan tidak kesampaian maka nazar tersebut tidak wajib ditunaikan: “Artinya tiada nazar melainkan pada yang dikehendaki dengan dia wajah Allah Ta’ala. Maka jikalau dinazarkannya akan wajah Allah Ta’ala dan bersalahan ia yakni tiada sampai seperti yang dimaksud maka tiadalah lazim akan dia kifarat ( Red ) Ibid, hal. 292


Selain itu Juga disyaratkan dalam bernazar harus ada nilai ibadah di dalamnya, kalau nazar dilakukan disertai dengan maksiat maka nazar tidak sah. (***)


Post a Comment

Previous Post Next Post