T . M . Banzema |  Pendidikan Grouping Class  | Jul, 30-2022  


Foto Dokumentasi : TM Benzema Adalah Aktivis Pendidikan Aceh yang bertugas di Dinas Pendidikan Pidie Jaya


PendidikanPengelompokan siswa (grouping Class)  memang sering dilakukan sekolah.  walaupun dalam beberapa kasus, pengelompokan ini memberi manfaat positif dan juga berdampak negatif. Pengelompokan sering pula disebut pengklasifikasian berdasarkan karakteristik tertentu.namun kali ini kita akan mengkaji Grouping Class dari sisi ilmu Psikologi khusus nya ilmu Psikologi Perkembangan anak.


Dalam implikasi psikologi perkembangan dalam pendidikan, tingkat keberhasilan belajar siswa tidak hanya didukung atau ditentukan dari fase masa sekolah saja namun juga didukung dengan fase sebelumnya yakni pra sekolah. Bahkan, pada saat anak masih ada di dalam kandungan yang juga bisa mempengaruhi.


Untuk itu, pengendalian dari orang tua harus bisa diwujudkan  supaya perkembangan anak bisa berjalan dengan baik. Syamsu Yusuf dalam bukunya, psikologi perkembangan anak dan remaja menyatakan jika masa usia pra sekolah tersebut bisa dibedakan menjadi dua masa yakni masa vital dan masa estetik.


Tingkat Operasional Konkret 7 Hingga 12 Tahun: Fase ini adalah untuk anak di usia SD yang disebut dengan masa sekolah rendah. Usia 7 sampai 12 tahun, sistem kognitif yang terpadu dalam organisasi mulai berkembang. dimasa ini biasanya anak mulai mencari jati diri nya, sehingga peran orangtua, guru dan lingkungan sangat diperlukan

pada  proses  penyelenggaraan  pendidikan  Sekolah Dasar ,  pemahaman  tentang  perkembangan  kognitif  anak  usia  dasar  sangat  penting  untuk  menjadi  acuan  dalam  rangka  mendidik  dan  mengajar. namun demikian pada usia anak sekolah dasar acuan kognitif bukanlah segala gala nya, ada yang lebih penting yaitu kebutuhan psikologis anak harus dipastikan berada pada tempat nya. pada fase ini aspek  kognitif, afektif dan psikomotorik anak sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis anak. 


Langkah Mk satuan pendidikan untuk melakukan Gruping kelas berdasarkan asumsi bahwa siswa akan berkembang secara optimal jika diberi lingkungan yang sama kemampuan akademiknya. Hal ini diperkuat dengan asumsi lain bahwa siswa yang berpotensi tinggi akan saling bersaing. Persaingan ini positif untuk merangsang prestasi.


Di balik asumsi tersebut terdapat pandangan bahwa heterogenitas kelas, siswa potensi akademik tinggi bercampur dengan siswa potensi akademik rendah, menyebabkan yang berpotensi akademik tinggi tidak bisa berkembang maksimal karena guru akan memberi pelayanan yang juga bisa dipahami oleh siswa yang berpotensi rendah


Dalam kenyataan yang terjadi seringkali justru kontraproduktif, baik untuk kelas A maupun kelas B. Kelas kategori A sering para siswanya merasa “lebih” hebat, over confidence dan muncul konflik yang bersifat destruktif di antara teman sekelas karena persaingan yang ada. Demikian juga dengan kelas B. Mereka menjadi kelompok yang kehilangan identitas sebagai pelajar, emosi mudah mencuat tidak terkendali, keinginan belajar karam bagai kapal menabrak karang. Sungguh kelas yang kehilangan identitas. Memperihatinkan sekali keadaan setiap siswa


Pengklasifikasian kelas telah membuat pengkotak-kotakan yang sangat tidak manusiawi. Terjadi dehumanisasi di lembaga pendidikan yang menyatakan diri sebagai media penerus budaya dan pembangun karakter. Guru yang mengajar di kelas B tidak berdaya membangkitkan semangat belajar. Lebih sering terjadi pembiaran atas perilaku bully di antara para siswa. Menilik di kelas A pun sesungguhnya tidak terjadi perkembangan yang signifikan di antara para siswa, karena guru mengajar tidak pula memiliki rencana pembelajaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas B. Artinya, setiap guru bidang studi hanya memiliki satu rencana pembelajaran yang diterapkan di kelas A dan B


Pendapat yang menyatakan bahwa Grouping kelsas dimaksud untuk meningkatkan persaingan sehat dikalangan siswa menurut saya justru ungkapan ketidakmapuan dalam memahami hak hak dan kebutuhan anak berdasarkan fase pertumbuhan nya.


Penelitian Carl Glikman (1991) menyimpulkan hasil bahwa tidak ada keuntungan yang diperoleh dengan menempatkan siswa ke dalam kelas berdasarkan kemampuan akademisnya. Siswa yang berprestasi lebih tinggi tidak menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik ketika ia bersama dengan siswa-siswa yang berprestasi sama tingginya. Di sisi lain, siswa yang prestasi belajarnya kurang justru semakin menurun prestasi belajarnya ketika ia dikelompokkan dengan siswa yang memiliki prestasi setara. Ada kebosanan yang dirasakan dalam kelas yang kurang pintar. Para siswa di kelas demikian mempunyai gambaran diri buruk, tidak sehebat kelas pintar.


guru dan siswa sebagai objek pendidikan   merupakan  individu yang  memiliki  kesadaran  kritis. Konsep  kesadaran  kritis  diharapkan  mampu membangkitkan  kesadaran  individu  untuk  peduli  dan  kritis terhadap berbagai Macam Persoalan yang terjadi dałam lingkungan sosial mereka. kesadaran kritis terhadap segala persoalan sosial yang mengitari mereka di tumbuhkan dengan sedemikian tajam (*)


Post a Comment

Previous Post Next Post