MIDEUEN ACEH.EU.ORG , — Di Pojok dunia Kami berdiskusi panjang tentang isu refendum ini sehingga menghasilkan kesimpulan untuk kami bagikan kepada masyarakat Aceh seluruh dunia sebagai bahan pertimbangan dan pemahaman dalam menyikapi isu Yang kemungkinan akan menjadi wacana kedepan dan terealisasi dengan izin Allah Referendum di bumi serambi Makkah ini

Secara Landasan Hukum 

Sejak Indonesia Merdeka Hingga 22 Maret 1999 Referendum masih punya landasan hukum berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. Artinya saat itu referendum adalah hak yang dijamin undang-undang.

23 Maret 1999, lahir Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985.

Jadi, saat ini tuntutan referendum tidak lagi memiliki landasan hukum secara legale dalam undang- undang republic Indonesia . Demikian  terang Tengku Amad Banta dari Praktisi Hukum Unjim  

Walau Demikian kita masih memiliki Alasan untuk menuntut Referendum secara legal dan memaksa pemerintah pusat untuk mengabulkan permohanan kita karena bila sebuah hukum tidak terdapat dalam UUD dan dalam UU kita masih memiliki pintu ijtihad . ini seperti mengembil sebuah hukum fiqah , bila tidak ada dalam al quran dan hadis kita mencari pada ijtihat ulama begitu juga referendum kita akan melihat alasan sebagai ijtihat ahli untuk pelaksanaan referundum di Aceh , demikian tulis Teungku Azhari  Politisi Partai Aceh  

Adapun alasan kita layak dan patut menuntut referendum menurut juru bicara Gam Wilayah amerika serikat Abu Zahidi di Tiro Yang akrap di sapa Abu _PA oleh rakyat amerika dan dalam forum Ham international perserikatan bangsa - bangsa adalah sebagai berikut :
  • Kekecewaan Sejumlah korban konflik Aceh yang berharap Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) segera untuk menjalankan isi qanun nomor 17/2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang telah disahkan tahun 2012 lalu namun pada hakikatnya sampai 2019 belum ada tanda-tanda untuk di bisa di jalankan sedangkan KKR ini merupakan amanat dari Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) bisa menjadi harapan baru untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM di Aceh,”

  • Otonomi Khusus Yang di kekang Terutama dalam bagi hasil migas sedangkan Pengertian Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk menentukan nasib sendiri. Sedangkan Keberadaan daerah otonom dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu pilihan bagi penyelesaian konflik internal. Sehingga memaksa pemerintah pusat untuk menciptakan daerah otonomi sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government (Kjell-Ake Nordquist, 1997: 59). Untuk itu daerah otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu negara

  • Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman MOU Helsingky 2005 , maka Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan DPR mengundangkan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006. Sebagaimana dalam Nota Kesepahaman, UU Pemerintahan Aceh juga mengatur bahwa Aceh berhak memiliki Bendera, Lambang, dan Himne tersendiri yang tidak boleh dianggap sebagai lambang kedaulatan Aceh namun hingga sat ini bendera dan lambang aceh tidak bisa di kibarkan dengan alasan saparatis 

  • Kontroversi Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat (pidana) yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, 14 September 2008, masih terus bergulir. Berbagai pihak menilai Qanun tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak asasi manusia, dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) yang telah diratifikasi melalui UU No 5 Tahun 1998. Selain itu, hingga saat ini, gubernur Aceh juga belum menandatangani Qanun tersebut.

  • Kontroversi Qanun, Perda Dengan Karakteristik Khusus Penerapan syariat Islam adalah perjuangan sepanjang hayat bagi masyarakat Aceh. Tetapi dimana letak Qanun dalam tata urutan perundang-undangan nasional? Qanun yang pertama kali diperkenalkan oleh UU No. 18/2001, memiliki kedudukan yang signifikan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah di Aceh. Sebab, qanun dijadikan perangkat hukum utama bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang tengah giat-giatnya ditata kembali pasca penandatanganan MoU Damai. Apalagi UU No. 18/2001 mengisyaratkan bahwa kedepannya nanti tidak akan ada lagi peraturan daerah (perda) di Aceh. Namun sampai sekarang belum bisa di jalankan dengan maximal 

  • Keberadaan Partai Nasional Bertentangan dengan Prinsip Otonomi Perwakilan pemerintah berpendapat partai harus bersifat nasional untuk mencegah potensi sukuisme.UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) yang mensyaratkan partai politik (parpol) memiliki kepengurusan di setiap provinsi bertentangan dengan prinsip otonomi yang dijamin konstitusi. seharusnya Partai nasional tidak bisa berkompetisi di wilayah otomomi khusus , hanya partai lokal yang berhak bersaing di aceh 

  • MK Hidupkan Asa Calon Perseorangan di Pemilukada Aceh , ini intervensi MK terhadap UUPA  karena MK memakzulkan Undang-undang Pemerintah aceh  dalam putusann  nya yaitu mengacu pada UU pusat calon perseorangan dalam Pemilukada tidak boleh dibatasi pemberlakuannya karena dijamin Pasal 28 D ayat (1) dan (4) UUD 1945. Pasal 256 berbunyi, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan.”   Pasal itu dinilai diskriminatif dan merugikan hak konstitusional serta menghalangi hak pemohon untuk mencalonkan diri sebagai calon bupati dari calon perseorangan dalam Pemilukada di NAD pada 2011 mendatang. Sebelumnya, Pemilukada di sejumlah daerah selain NAD tidak mengakomodir calon perseorangan berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Berdasarkan tekanan dan pembatasan pada UUPA maka sudah sepantasnya aceh menuntut referendum agar bebas menjalankan qanun dan aturan berbangsa serta bernegara tanpa intervensi dari pemerintah indonesia (***)

Menyikapi statement 
Ketua DPA PA Muzakir Manaf 
Yang biasa di sapa muallem 
seputar isu referendum ini 
Menghadirkan pro dan kontra 
dalam masyarakat serta 
dalam Lingkungan  
élite Mantan Gam sendiri 
Baik dalam negeri dan luar negeri . 
Tidak terkecuali ini menjadi isu hangat 
untuk di bahas menjelang 
buka puasa hari ini di Amerika . 



Post a Comment

Previous Post Next Post